Benediktus Yoseph Pusjoyo Kedang/ Bang Ben Mahasiswa PBSU UMK Semester IV

 

Pendidikan di zaman modern ini kita mengenal sebuah ide tentang linearitas. Dimana seyogianya pendidikan mengarah kepada spesialisasi. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka pengetahuan ataupun ilmu semakin spesialis. Tetapi perlu kita ketahui bahwa ide ataupun argumen semacam itu sangatlah bermasalah.

Filsafat pendidikan yang menekankan pada linearitas sebetulnya didasari oleh asumsi industrialisasi pendidikan. Ide semacam itu berkaitan dengan Hilirisasi Pendidikan. Yaitu pendidikan harus ada ketersambungannya dengan dunia pekerjaan atau pendidikan untuk kepentingan industri. Sehingga perlu ditekankan adanya Link And Match. Kecocokan antara disiplin ilmu yang diproleh dengan dunia pekerjaan atau dunia industri.

Pendidikan semacam itu sebetulnya menyempitkan esensi dari filsafat pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan bukanlah semata-mata memperoleh pengetahuan teknis. Tetapi jauh lebih mendasar daripada itu pendidikan harusnya menumbuhkan kesadaran individu untuk mampu merasakan dan bersikap terhadap segala pesoalan di dunia ini. Ide tentang Hilirisasi ini sedikit menghilangkan dimensi-dimensi dunia pendidikan ketika pendidikan dibalut atau dikerangkai oleh kepentingan industrialisasi.

Kita perlu merefleksikan kembali tentang konsepsi dunia pendidikan dengan mendekatkan kepada konsep Renaissance Man ( Manusia Reneisans ).
Intelektualitas melonjak naik pada abad ke 15-16. Dimana memungkinkan peralihan sangat cepat dari tradisi abad pertengahan ke masa pencerahan dan modernitas.

Intelektual yang hidup pada zaman Renaissance Man ini merupakan intelektual yang serba bisa. Kita mengenal Leonardo Da Vinci bukan hanya seorang seniman tetapi seorang penemu. Leonardo Da Vinci merupakan Penemu mesin terbang, mesin hitung, dst.

Pendekatan Renaissance Man ini, orang-orang memahami segala aspek kehidupan di dunia ini bukan hanya satu sudut pandang atau satu segi saja, melainkan semuanya. Orang-orang pada zaman itu bukan hanya menguasi ilmu pengetahuan tetapi mereka juga seniman yang mampu merasakan dan mengartikan segala sesuatu yang sangat mendasar dan mampu mengartikulasikan efek-efek artistik tertentu.

Konsepsi Renaissance Man ini terus mempengaruhi pemikir-pemikir pada abad ke 17 dan abad ke 18 awal.
Orang seperti Rene Descartes adalah seorang filsuf, ahli dalam matematika, ahli dalam fisika, dst.

Pada abad ke 18 awal orang seperti Gottfried Leibniz yang mampu mendalami berbagai macam isu mulai dari biologi, strategi militer, ilmu tentang cara menghitung undian, matematika probabilitas, dst.

Konsepsi Renaissance Man ini belum mengenal yang namanya spesialisasi. Orang yang dikatakan ahli adalah orang yang bijaksana. Orang yang mampu mengetahui segala aspek dari kenyatan. Bukan orang yang tahu segala sesuatu tetapi mampu merasakan segala sesuatu dan mampu mengetahui prinsip-prinsip pokoknya.

Konsepsi Renaisaance Man ini perlahan mulai punah ketika ada sekat-sekat atau semakin ter-spesialisasi. Sekitar abad ke 20 ide tentang Linearitas atau spesialisasi dalam pendidikan ini semakin menjadi-jadi. Pola pikir yang mengapresiasi spesialisasi ini kita bisa menarik sebuah contoh terkait Jurnal. Bukan hanya Jurnal tentang bologi tetapi lebih spesifik lagi mungkin meneliti tentang jamur dan lebih spesifik lagi meneliti satu spesies jamur maka akreditasinya semakin tinggi. Sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa ada sebuah kepentingan terkait industrialisasi.

Konsepsi Renaissance Man ini seutuhnya tidak menghilang. Kita mampu untuk tetap mempertahankan konsepsi itu sehingga kita tidak menjadi manusia yang parsial tetapi menjadi manusia yang utuh. Manusia yang mampu mengapresiasi segala hal bukan hanya mampu mengapresiasi satu bidang saja tetapi mampu menyadarkan individu bahwa segala hal yang ada di dunia ini menarik untuk kita pelajari.

Filsafat pendidikan di Indonesia sendiri yang dibawa oleh Ki Hadjar Dewantara menekankan pada Filsafat Pendidikan Holistik yang menghendaki manusia untuk menjadi manusia yang utuh. Filsafat Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara ini bukan hanya pada olah pikir tetapi olah rasa dan olah karsa atau olah kehendak. Ketiga hal ini mampu membentuk pengalaman manusia yang sangat universal, bukan hanya satu disiplin ilmu saja.

Konsepsi Renaissance Man dan Filsafat Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara ini memiliki satu korespondensi yang sama. Memiliki satu kehendak yang serupa. Kehendak yang serupa ini ketika kita membicarakan ide tentang Linearitas maka hal itu semakin tergerus karena adanya spesialisasi. Maka, kita perlu merenungi atau merefleksikan kembali bahwa pendidikan seharusnya membebaskan pikiran kita. Sehingga peserta didik atau manusia sendiri mampu melihat sebuah persoalan bukan hanya satu sudut pandang saja melainkan melalui sudut pandang yang berbeda dan mejadikan individu menjadi manusia yang utuh.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *