Cerpen “Orang-Orang Tak Bertuhan” Karya Apolia Popo berhasil menggaet hati juri dalam lomba menulis cerpen tingkat mahasiswa se-NTT yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) NTT 2020. Cerpen ini masuk 5 cerpen yang dipilih oleh juri dan di bukukan dalam kumpulan cerpen “Kambing Kutukan” yang diterbitkan oleh G-Pustaka Jl. Kayu Tangi 1 Jalur 2 No. 77 Sungai Miai, Banjarmasin Utara.

Orang-Orang Tak Bertuhan

Aplonia Popo

Deru ombak di pantai dari kejauhan mengamuk menghantam karang. Angin membawa debu dan daun-daun kering terbang di udara. Sengatan matahari pun semakin menusuk. Seakan bersiap menjadi musuh bagiku, juga musuh pohon-pohon, tanah, laut, dan tubuh-tubuh yang legam di atas perahu-perahu ikan. Aku pun bangkit. Membebaskan mata mengamati sekitar. Kering. Tak ada kesan kehidupan. Seperti rusa tersesat dari induknya, aku seorang diri di padang belantara. Udara yang semakin menyengat seakan menjadi isyarat agar aku pergi. Tentu saja. Kegersangan tak boleh menguasai pikiran bukan?

Senja tiba. Dengan kaki telanjang kupaksa tubuh ini terus berjalan. Senyap menjadi teman ketika menuruni lembah. Juga ketika melintasi hutan yang luas itu. Senandung penghuni hutan ramai hendak menyambut malam. Gelap datang lebihcepat dari yang kupikirkan. Tak satupun titik terang menjadi jalan. Aku menikmati gelap meski terengah, tertatih, dan lapar. Ambisiku semakin kuat. Aku harus lolos dari tempat ini. Apa daya? Dahaga di tenggorokan dan perut yang meraung menagih jatah, memperlambat semuanya. Perih onak menyayat tapak kaki. Begitu cepat kepayahan itu datang memaksaku menyudahi perjalanan. Namun. itu tak mampu merongrong tekadku.

Semakin jauh kaki ini terseok melangkah hingga tubuh hampir menyerah. Namun, tiba-tiba cahaya-cahaya kecil nampak dari kejauhan. Sebuah pertanda baik bahwa perjalanan hampir berakhir. Sebuah perjalanan yang menguras tenaga. Sepuluh dua puluh langkah kuayunkan kaki lagi, beberapa rumah pun terlihat jelas. Satu persatu kulewati. Aneh. Semua mata menatapku sinis. Aku berusaha memasangkan wajah akrab. Terdengar pintu-pintu dibanting dengan buru-buru. Seakan aku bertanduk, dengan belalai dan bulu-bulu yang menakutkan. Salamku yang ramah itu mental ke langit—tak terjawab. Kudapati diriku terbawa oleh suatu kekuatan menjauh beberapa meter kembali menyusuri lorong-lorong membawa gelap. Bruk! Seutas akar pohon menghentikan langkahku. Aku tersungkur dengan lidah menjulur. Raga tak berdaya lagi untuk bangkit. Hanya ada desis rintih sepanjang malam.

Teng! Teng! Teng! Bunyi lonceng memekak telinga. Sontak aku terjaga dari tidur. Anehnya, tubuhku memar seperti berbaring di karang. Sembari mengerang, pelan-pelan aku membuka mata. Dengan tangan gemetar, membersihkan debu kotor yang menempel acak di wajah. Setelahmerasa cukup, aku bangkit mengamati sekeliling. Asing. Bibir retak dan wajah kusutku semakin meyakinkan bahwa tempat ini teramat asing.

Teng! Teng! Teng! Loceng tadi terdengar lagi. Bersamaan dengan itu, beberapa orang berpakaian rapi melewatiku. Aku yakin, tubuhku yang memprihatinkan ini akan mengundang perhatian. Aku yakin mereka akan menghampiriku. Sial. Mereka pergi setelah menyeringai jijik melihatku. Sekejap, mereka membentuk barisan panjang. Rasa haus dan lapar sontak menyerangku. Kusembunyikan mata yang melotot mengikuti rombongan itu. Mereka adalah mangsa. Aku lapar. Sekejap, seluruh informasi yang tersimpan di alam bawah sadar naik ke kepala. Aku begitu terangsang. Kuikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan ke sumber bunyi lonceng itu. Sebuah bangunan bergaya Eropa berdiri gagah dengan tanda salib. Orang-orang memasukinya dengan tenang. Aku mengintip dari kejauhan, memastikan orang-orang itu mengucapayat-ayat.

Api di dadaku berkobar. Sekonyong-konyong angin keras datang. Lantunan pujian dari gereja bergemuruh di kupingku. Khotbah begitu lepas memecah keheningan. Cukup! Bagiku mereka hanya munafik untuk membenarkan diri. Itu hanya seruan ketus menghinaku. Denyut jantungku semakin cepat. Kedua tangan ku kepalkan dengan gigi gemeretak. Dengan napas tersengal-sengal aku berjalan menjauhi mereka.

Waktu terus berlalu. Tubuhku butuh sedikit balas kasih. Kupikir, sedikit memeras atau mencuri adalah alternatif yang tepat. Kurasa kegelapan kini membawaku semakin jauh. Wajah orang-orang miskin, gelandangan dan kaum-kaum tak berdayat terlintas di benakku. Kami senasib. Hasil jarahan bisa saja kugunakan sebagai hadiah untuk menghasut mereka. Mencuci otak mereka dengan jaminan surga. Mereka harus memberontak pada orang-orang yang menganggap diri benar. Keprihatinan ekonomi menjadi jembatan di antara kami. Namun, tidak bagi orang-orang tamak yang munafik di luar sana. Siasat sudah rapi. Setelah terbilangbanyak, kami merembukkan siasat itu lagi. Bersepakat terkait teknis. Semua harus matang dan profesional. Dan itu menghabiskan waktu berbulan-bulan. Hingga suatu hari dalam terowongan, kami sepakat. Malam ini adalah waktu yang tepat. Tak ada kegentaran. Hanya api yang membara membakar kecut.

Malam telah tiba. Jalanan di penuhi hilir mudik tunggangan. Lampu jalan menambah remangnya suasana. Orang-orang pulang selepas bekerja seharian. Semakin larut. Kami menunggu jalan menjadi sepi. Lampu beberapa rumah telah padam. Sinar rembulan sedikit suram menambah gelap di bumi. Waktunya tepat. Semesta mendukung. Tanpa membuang banyak waktu, kami mengendap-ngendap memasuki jalanan. Mengintai keadaan aman, berjalan menuju sasaran. Waktu pukul 02.00 saat kamitibadidepansebuahbangunandengankubahdiatap.Bagunanituberdiri anggun dihiasi bintang dan bulan tengah sabit. Keadaan begitu hening. Tak ada telinga yang mendengar bunyi serpihan kaca masjid yang berserakan di lantai. Bruuuk! Dentuman ambruk tembok kena pemukul di tangan kami. Dengki meledak-ledak seakan tepuaskan pada kaca dan tembok yang hancur. Timbunan reruntuhan tembak kini menutupi lantai bangunan itu. Kekeh puas pun mengiring langkah kami meninggalkan tempatitu.

Satu minggu. Dua minggu. Setelah aman kami kembali menyusun rencana. Sebuah gedung bercahaya terang dengan bunyi lonceng berdentum-dentum jadi target berikut. Sayang, jika tidak memakan korban. Kali ini peledak harus lebih aman disembunyikan. Aroma Natal sudah tercium dan orang-orang akan lebih waspada. Jalanan dan rumah-rumah dihiasi lampu kelap-kelip. Rumah ibadah itu tak kalah meriah. Dekorasi elok mewakili suasana setiap hati menyambut hari raya. Dor! Dor! Dor! Letusan kembang api menerikkan keceriaan umat. Wajah-wajah girang meramaikan tubuh gereja. Kami menghitung dengan perasaan gempita seperti ledakan kembang api di udara. Seusai ledakan kecil itu, sebuah ledakan mahadahsyat menyusul dalam waktu yang tepat. Asap tebal mengepul meyelimuti tempat itu. Tubuh-tubuh terpapar di lantai. Jeritan tangis dan gelagapan kini berceceran. Sekejap semua orang lenyap. Terbirit-birit mengamankan tubuh. Tak sadar mereka telah meninggalkan jasad orang-orang terkasih yang terkapar menanduk tanah. Aksi kamiberjalansempurna. Rencana berikut, kami harus mundur. Menghindar untuk maju lagi.

Aku melalui sebuah jalan setapak. Tetesan keringat membasahi tubuh. Aku memimpin tim ke rimba. Tak boleh ada yag tertangkap. Sebab bila ada yang membuka mulut, tentu kami akan hancur. Setelah cukup jauh aku akhirnya berhenti. Pada sebatang pohon besar yang rimbun aku menyandarkan tubuh. Sejenak, kuamati tubuhku yang kian tak berdaging. Apa peduliku. Aku menengadah ke cakrawala. Mengenang wajah-wajah yang terkapar di tanganku. Mangsa yang begitu memuaskan gairah. Hingga aku kekenyangan dan memekik bebas. Memecah kesunyian hutan tanpa beban. Cukup lama aku menikmati itu hingga sebatang ranting lapuk mendarat di pundakku.

Agh! Aku meraung lantang. Hantaman ranting cukup meremukkan tulang pundakku. Di susul oleh pening yang dahsyat. Gelap sesaat. Tapi kegelapan menjahuiku lebih cepat. Pundak terguncang, aku membuka mata. Sebuah telapak tangan merayapi kepalaku. Mata kami beradau. Sambil menghela napas lega, ia melepaskan tangan yang dari kepalaku.

“Rudi, bangun! Cepat bangun sudah!”

Sekonyong-konyongnya sakit badanku yang remuk itu hilang.Suara itu begitu dekat dan sangat kukenali.

“Rudi, Pak RT su panggil!”

Telingaku sudah lebih awas sekarang. Tapi mataku belum bisaterbuka.

“Pak RT?” Aku berpikir sejenak, “Bagaimana mungkin di hutan belantara ini ada katua Rukun Tetagga?”

“Rudi! He… Mama kas bangun mau berapa kali?!” perempuan itu sudah habis kesabaran dan membentak.

Aku loncat dari tempat tidur. Kudapati seorang perempuan paruh baya sedang membetulkan konde rambutnya. Wajahnya telah keriput meski dipolesi perona pipi. Tangannya memegang sebuah tas mungil berwarna cokelat.

“Mama!” Ucapku dengan kerongkongan kering

“Adu anak e. Mandi sudah. Pak RT su panggil dari tadi. Orang su bakumpul lu belom datang. Ko lu yang bawa acara to?” Dengan gelisah Ibu melongok melihat jam di atas daun pintu. Aku ikut melihat jam. Mataku menangkap sebuah undangan tertempel di dinding. UNDANGAN PERAYAAN TAHUN BARU BERSAMA RT 00 RW 00. Kesadarankumembaik. Kami pemuda gereja baru saja menggalang dana untuk membeli seekor sapi. Sementara beras dan aneka bumbu dibawa pemuda-pemuda muslim. Dan aku didaulat sebagai pembawa acara pada rampat terakhir di rumah Pak RT. Bagaimana aku bisa lupa perayaan ini hanya dalam sekali tidur.

“Mimpi tadi aneh, harusnya beta sonde talalu banyak nonton tivi, ini seperti kejahatan semalam” pikirku dalam hati sebelum mengguyur air ke kepala, “Kejahatan hanya milik orang-orang tak bertuhan,” lanjutku menghadiahi lebih banyak air ke tubuh. Dari kamar bilik kamar mandi aku mendengar lagu Perdamaian dinyanyikan ibu-ibu majelis ta’alim sebelum acara di mulai. Aku tersenyum membersihkan sisamimpi.

Nama: Aplonia Popo
Nim: 1822111005
Prodi: PBSI
Semester: V
Asal: Sumba Timur

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *